Jumat, 04 November 2011

Etika

ETIKA

Etika (Yunani Kuno: "ethikos", berarti "timbul dari kebiasaan") adalah cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral. Etika mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab.
Etika dimulai bila manusia merefleksikan unsur-unsur etis dalam pendapat-pendapat spontan kita. Kebutuhan akan refleksi itu akan kita rasakan, antara lain karena pendapat etis kita tidak jarang berbeda dengan pendapat orang lain. Untuk itulah diperlukan etika, yaitu untuk mencari tahu apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia.
Secara metodologis, tidak setiap hal menilai perbuatan dapat dikatakan sebagai etika. Etika memerlukan sikap kritis, metodis, dan sistematis dalam melakukan refleksi. Karena itulah etika merupakan suatu ilmu. Sebagai suatu ilmu, objek dari etika adalah tingkah laku manusia. Akan tetapi berbeda dengan ilmu-ilmu lain yang meneliti juga tingkah laku manusia, etika memiliki sudut pandang normatif. Maksudnya etika melihat dari sudut baik dan buruk terhadap perbuatan manusia. Etika terbagi menjadi tiga bagian utama: meta-etika (studi konsep etika), etika normatif (studi penentuan nilai etika), dan etika terapan (studi penggunaan nilai-nilai etika).
Menurut para ahli maka etika tidak lain adalah aturan prilaku, adat kebiasaan manusia dalam pergaulan antara sesamanya dan menegaskan mana yang benar dan mana yang buruk. Perkataan etika atau lazim juga disebut etik, berasal dari kata Yunani ETHOS yang berarti norma-norma, nilai-nilai, kaidah-kaidah dan ukuran-ukuran bagi tingkah laku manusia yang baik, seperti yang dirumuskan oleh beberapa ahli berikut ini :
·      Drs. O.P. SIMORANGKIR : etika atau etik sebagai pandangan manusia dalamberprilaku menurut ukuran dan nilai yang baik.
·      Drs. Sidi Gajalba dalam sistematika filsafat : etika adalah teori tentangtingkah laku perbuatan manusia dipandang dari segi baik dan buruk, sejauh yangdapat ditentukan oleh akal.
·      -Drs. H. Burhanudin Salam : etika adalah cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai dan norma moral yang menentukan prilaku manusia dalam hidupnya.

 Etika dalam Kehidupan Kita sehari-hari

Dalam kehidupan bermasyarakat kita semua hidup berdasarkan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Dalam lingkungan masyarakat pula kita sering mendengar istilah kata ‘etis’ dan ‘tidak etis’. Baik istilah kata ‘etis’ maupun ‘tidak etis’ keduanya digunakan oleh manusia untuk menggambarkan dan menilai suatu bentuk perilaku yang dianggap ‘baik atau buruk’ dan ‘pantas atau tidak pantas’. Penilaian manusia terhadap suatu tingkah laku berupa ‘etis’ atau ‘tidak etis’ ini berdasarkan atau bersumber pada hati nurani manusia itu sendiri dan ditambah dengan adanya nilai-nilai lain yang berkembang di lingkungan tersebut, seperti nilai-nilai adat.
Nilai-nilai etika tidak hanya penting bagi kehidupan kita saja, melainkan juga untuk semua umat manusia di dunia. Kita tahu bahwa manusia adalah makhluk sosial yang berarti manusia tidak bisa tidak berinteraksi dengan manusia lain. Segala kegiatan dan pekerjaan manusia selalu berhubungan dengan manusia lain dan juga berdampak pada manusia lain pula. Dalam menjalin hubungan antarmanusia tentu dibutuhkan suatu pandangan terhadap nilai baik atau buruknya suatu perilaku, seperti hal apa yang baik untuk dilakukan dan hal apa yang sebaiknya tidak dilakukan atau bahkan dilarang untuk dilakukan. Hal ini ditujukan agar manusia lebih menggunakan hati nuraninya dalam melihat berbagai hal di lingkungannya berkaitan dengan yang baik atau buruk. Etika dalam hal ini berfungsi untuk lebih “memanusiakan manusia”. Mengapa demikian? Karena salah satu ciri dan anugerah yang dimiliki manusia adalah adanya hati atau perasaan dan juga akal pikiran. Etika mengajak manusia untuk lebih menggunakan kedua anugerah tersebut, khususnya hati, agar manusia mempunyai tingkah laku yang baik, dan hal ini sangatlah penting dalam menjalin hubungan antarmanusia karena tentunya sesorang tidak akan mau atau enggan bergaul dengan seseorang yang tidak beretika dan bermoral. Mengapa manusia perlu beretika? Pada dasarnya adalah karena setiap manusia ingin dihargai satu sama lain. Manusia secara naluriah ingin menciptakan citra yang baik tentang dirinya kepada manusia lain. Untuk alasan itulah manusia beretika. Tentu bisa kita bayangkan apa jadinya dunia ini jika seluruh manusia tidak memiliki etika. Mungkin kita semua akan kembali menjadi masyarakat barbarian.

Contoh Etika dalam kehidupan sehari-hari
Sebuah contoh sederhana mengenai etika adalah ketika seseorang bermaksud untuk menelepon temannya, tetapi orang tersebut menelepon di jam 11 malam. Sekalipun orang yang ditelepon tersebut adalah sahabat dekatnya, atau dia tahu bahwa sahabatnya tersebut biasanya baru tidur di atas jam 12 malam, atau bahkan sahabatnya itu hanya tinggal sendiri di rumahnya, tetap saja bahwa keputusan orang tersebut untuk menelepon pada jam 11 malam dianggap tidak etis. Hal ini dianggap tidak etis karena nilai yang berkembang di masyarakat kita adalah bahwa di atas jam 9 atau jam 10 malam sudah menjadi “jam pribadi” bagi seseorang, dalam arti tidak bisa diganggu lagi untuk masalah atau urusan apa pun, kecuali hal tersebut memang bersifat mendesak (urgent), sehingga bila ada seseorang yang menelepon di atas jam 10 malam akan dianggap tidak etis, apalagi jika hanya untuk membahas hal-hal yang sebenarnya bisa ditunggu hingga keesokan harinya.
Dari contoh sederhana tersebut dapat kita lihat bahwa betapa pentingnya etika dalam kehidupan sehari-hari kita. Etika sangat penting dalam membina hubungan atau relasi kita dengan orang lain. Secara tidak sadar orang yang beretika akan memiliki hubungan yang lebih baik dengan orang lain daripada yang kurang atau bahkan tidak memperhatikan etika. Orang yang beretika pun akan lebih dipandang dan dihargai oleh orang lain walaupun dia tidak pernah meminta atau berharap untuk hal tersebut. Hal penting lainnya adalah bahwa etika sangat berperan dalam pembentukan citra diri seseorang, terlepas dari apakah orang tersebut ikhlas atau tidak, tapi ketika dia tahu mana yang etis dan yang tidak etis, setidaknya orang-orang akan melihat orang tersebut sebagai seseorang yang beretika dan berperilaku baik, dan salah satu manfaatnya adalah untuk dirinya sendiri.
Lalu bagaimana dengan orang-orang yang tidak memperhatikan etika? Etika tidaklah seperti hukum yang memiliki sejumlah peraturan dan perundangan yang bisa memaksa manusia untuk patuh terhadap hukum yang berlaku. Dalam hukum bila ada seorang yang melanggar hukum tentu, baik secara sengaja maupun tidak sengaja akan mendapatkan sanksi sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan (diproses secara hukum). Sementara itu etika bukanlah suatu hal tertulis dan bukan suatu hal yang memiliki konsekuensi-konsekuensi seperti sanksi hukum bagi yang melanggar aturan-aturan yang berlaku. Karena ukuran dari etika adalah ‘baik dan buruk’ atau ‘pantas atau tidak pantas’, orang-orang yang melanggar nilai-nilai etika tidak akan mendapatkan sanksi layaknya sanksi hukum. Mereka yang melanggar etika akan mendapatkan sanksi yang berupa sanksi sosial. Sanksi sosial ini bisa berupa cibiran dari orang-orang sampai dengan pengucilan atau bahkan pengasingan untuk kasus pelanggaran etika yang sangat berat. Beberapa orang mungkin tidak begitu menganggap etika sebagai suatu hal serius karena melihat dari konsekuensinya yang hanya berupa sanksi sosial. Seseorang tidak akan didenda ratusan juta rupiah atau bahkan masuk penjara hanya karena tidak memberikan tempat duduk untuk seorang orang tua, terutama ibu-ibu, di dalam sebuah kereta. Orang tersebut mungkin hanya akan menjadi sedikit perhatian bagi penumpang lainnya, menjadi sedikit pembicaraan bahwa orang tersebut tidak seharusnya berdiam diri dan membiarkan orang tua tersebut berdiri sementara dia yang masih muda, dalam arti masih lebih kuat secara fisik, duduk di tempat duduk tersebut. Karena itulah orang-orang terkadang tidak begitu menghiraukan masalah etika. Kebanyakan orang lebih sibuk dengan kepentingan dirinya sendiri tanpa lagi melihat baik atau buruk dan pantas atau tidak pantas. Hal ini tentu kembali kepada hati tiap manusia karena etika berhubungan dengan rasa, dan rasa ini dirasakan di dalam hati manusia. Hati manusialah yang bisa menilai etis atau tidak etisnya tingkah laku yang dia perbuat. Jika seseorang masih memiliki rasa etika dalam dirinya tentu orang tersebut memiliki hubungan dan citra yang baik di dalam masyarakat, tapi sebaliknya jika seseorang tidak mempedulikan etika tentunya orang tersebut akan dipandang “berbeda” dari lingkungan dan masyarakat karena dianggap tidak dapat melihat dan merasakan mana hal yang baik atau buruk dan pantas atau tidak pantas.

Etika Dalam Dunia Bisnis
Apabila moral merupakan sesuatu yang mendorong orang untuk melakukan kebaikan etika bertindak sebagai rambu-rambu (sign) yang merupakan kesepakatan secara rela dari semua anggota suatu kelompok. Dunia bisnis yang bermoral akan mampu mengembangkan etika (patokan/rambu-rambu) yang menjamin kegiatan bisnis yang seimbang, selaras, dan serasi.
Etika sebagai rambu-rambu dalam suatu kelompok masyarakat akan dapat membimbing dan mengingatkan anggotanya kepada suatu tindakan yang terpuji (good conduct) yang harus selalu dipatuhi dan dilaksanakan. Etika di dalam bisnis sudah tentu harus disepakati oleh orang-orang yang berada dalam kelompok bisnis serta kelompok yang terkait lainnya.
Dunia bisnis, yang tidak ada menyangkut hubungan antara pengusaha dengan pengusaha, tetapi mempunyai kaitan secara nasional bahkan internasional. Tentu dalam hal ini, untuk mewujudkan etika dalam berbisnis perlu pembicaraan yang transparan antara semua pihak, baik pengusaha, pemerintah, masyarakat maupun bangsa lain agar jangan hanya satu pihak saja yang menjalankan etika sementara pihak lain berpijak kepada apa yang mereka inginkan. Artinya kalau ada pihak terkait yang tidak mengetahui dan menyetujui adanya etika moral dan etika, jelas apa yang disepakati oleh kalangan bisnis tadi tidak akan pernah bisa diwujudkan. Jadi, jelas untuk menghasilkan suatu etika didalam berbisnis yang menjamin adanya kepedulian antara satu pihak dan pihak lain tidak perlu pembicaraan yang bersifat global yang mengarah kepada suatu aturan yang tidak merugikan siapapun dalam perekonomian.
Dalam menciptakan etika bisnis, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain ialah
1. Pengendalian diri
Artinya, pelaku-pelaku bisnis dan pihak yang terkait mampu mengendalikan diri mereka masing-masing untuk tidak memperoleh apapun dari siapapun dan dalam bentuk apapun. Disamping itu, pelaku bisnis sendiri tidak mendapatkan keuntungan
dengan jalan main curang dan menekan pihak lain dan menggunakan keuntungan dengan jalan main curang dan menakan pihak lain dan menggunakan keuntungan tersebut walaupun keuntungan itu merupakan hak bagi pelaku bisnis, tetapi penggunaannya juga harus memperhatikan kondisi masyarakat sekitarnya. Inilah etika bisnis yang "etis".
2. Pengembangan tanggung jawab sosial (social responsibility)
Pelaku bisnis disini dituntut untuk peduli dengan keadaan masyarakat, bukan hanya dalam bentuk "uang" dengan jalan memberikan sumbangan, melainkan lebih kompleks lagi. Artinya sebagai contoh kesempatan yang dimiliki oleh pelaku bisnis untuk menjual pada tingkat harga yang tinggi sewaktu terjadinya excess demand harus menjadi perhatian dan kepedulian bagi pelaku bisnis dengan tidak memanfaatkan kesempatan ini untuk meraup keuntungan yang berlipat ganda. Jadi, dalam keadaan excess demand pelaku bisnis harus mampu mengembangkan dan memanifestasikan sikap tanggung jawab terhadap masyarakat sekitarnya.
3. Mempertahankan jati diri dan tidak mudah untuk terombang-ambing oleh pesatnya perkembangan informasi dan teknologi
Bukan berarti etika bisnis anti perkembangan informasi dan teknologi, tetapi informasi dan teknologi itu harus dimanfaatkan untuk meningkatkan kepedulian bagi golongan yang lemah dan tidak kehilangan budaya yang dimiliki akibat adanya tranformasi informasi dan teknologi.
4. Menciptakan persaingan yang sehat
Persaingan dalam dunia bisnis perlu untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas, tetapi persaingan tersebut tidak mematikan yang lemah, dan sebaliknya, harus terdapat jalinan yang erat antara pelaku bisnis besar dan golongan menengah kebawah, sehingga dengan perkembangannya perusahaan besar mampu memberikan spread effect terhadap perkembangan sekitarnya. Untuk itu dalam menciptakan persaingan perlu ada kekuatan-kekuatan yang seimbang dalam dunia bisnis tersebut.
5. Menerapkan konsep “pembangunan berkelanjutan"
Dunia bisnis seharusnya tidak memikirkan keuntungan hanya pada saat sekarang, tetapi perlu memikirkan bagaimana dengan keadaan dimasa mendatang. Berdasarkan ini jelas pelaku bisnis dituntut tidak meng-"ekspoitasi" lingkungan dan keadaan saat sekarang semaksimal mungkin tanpa mempertimbangkan lingkungan dan keadaan dimasa datang walaupun saat sekarang merupakan kesempatan untuk memperoleh keuntungan besar.
6. Menghindari sifat 5K (Katabelece, Kongkalikong, Koneksi, Kolusi dan Komisi)
Jika pelaku bisnis sudah mampu menghindari sikap seperti ini, kita yakin tidak akan terjadi lagi apa yang dinamakan dengan korupsi, manipulasi dan segala bentuk permainan curang dalam dunia bisnis ataupun berbagai kasus yang mencemarkan nama bangsa dan negara.
7. Mampu menyatakan yang benar itu benar
Artinya, kalau pelaku bisnis itu memang tidak wajar untuk menerima kredit (sebagai contoh) karena persyaratan tidak bisa dipenuhi, jangan menggunakan "katabelece" dari "koneksi" serta melakukan "kongkalikong" dengan data yang salah. Juga jangan memaksa diri untuk mengadakan “kolusi" serta memberikan "komisi" kepada pihak yang terkait.
8. Menumbuhkan sikap saling percaya antara golongan pengusaha kuat dan golongan pengusaha kebawah
Untuk menciptakan kondisi bisnis yang "kondusif" harus ada saling percaya (trust) antara golongan pengusaha kuat dengan golongan pengusaha lemah agar pengusaha lemah mampu berkembang bersama dengan pengusaha lainnya yang sudah besar dan mapan. Yang selama ini kepercayaan itu hanya ada antara pihak golongan kuat, saat sekarang sudah waktunya memberikan kesempatan kepada pihak menengah untuk berkembang dan berkiprah dalam dunia bisnis.
9. Konsekuen dan konsisten dengan aturan main yang telah disepakati bersama
Semua konsep etika bisnis yang telah ditentukan tidak akan dapat terlaksana apabila setiap orang tidak mau konsekuen dan konsisten dengan etika tersebut. Mengapa? Seandainya semua ketika bisnis telah disepakati, sementara ada "oknum", baik pengusaha sendiri maupun pihak yang lain mencoba untuk melakukan "kecurangan" demi kepentingan pribadi, jelas semua konsep etika bisnis itu akan "gugur" satu semi satu.
10. Menumbuhkembangkan kesadaran dan rasa memiliki terhadap apa yang telah disepakati
Jika etika ini telah memiliki oleh semua pihak, jelas semua memberikan suatu ketentraman dan kenyamanan dalam berbisnis.
11. Perlu adanya sebagian etika bisnis yang dituangkan dalam suatu hukum positif yang berupa peraturan perundang-undangan
Hal ini untuk menjamin kepastian hukum dari etika bisnis tersebut, seperti "proteksi" terhadap pengusaha lemah. Pelanggaran etika bisnis itu dapat melemahkan daya saing hasil industri dipasar internasional. Ini bisa terjadi sikap para pengusaha kita.
Lebih parah lagi bila pengusaha Indonesia menganggap remeh etika bisnis yang berlaku secara umum dan tidak pengikat itu.
Kecenderungan makin banyaknya pelanggaran etika bisnis membuat keprihatinan banyak pihak. Pengabaian etika bisnis dirasakan akan membawa kerugian tidak saja buat masyarakat, tetapi juga bagi tatanan ekonomi nasional. Disadari atau tidak, para pengusaha yang tidak memperhatikan etika bisnis akan menghancurkan nama mereka sendiri dan negara.
Contoh Etika dalam dunia bisnis

“Ku kira coklat, nggak taunya broklat, perutku jadi kacau berat, nggk! Nggk momo lagi”. Demikian sebuah persyaratan yang diperankan oleh seorang anak bertubuh tambun dalam sebuah iklan kudapan coklat bermerk “Gery Toya-Toya” produksi Garuda Food, yang ditampilkan dalam iklan di berbagai televisi nasional. Sekilas iklan tersebut biasa saja, namun sesungguhnya memuat pesan yang menyerang pesaingnya bernama “Momogi” kudapan buatan perusahaan lain. Dilain pihak beberapa iklan di televisi menampilkan produk toiletris seperti  sabun mandi, atau perawatan kulit, yang secara sengaja mengumbar kulit mulus wanita cantik, atau kita juga disugukan oleh iklan obat sekali minum sembuh, padahal proses penyembuhan penyakit tidak sesederhana itu. Tayangan sinetron di televisi menyiarkan film-film berbau sex, kekerasan, mistik, horor, dan menampilkan kemewahan ekonomi yang sesungguhnya bukan merupakan kondisi riil masyarakat kita. 
Apa yang dibahas di atas merupakan gambaran betapa sebagian orang atau organisasi melakukan berbagai cara untuk menjual produknya baik dengan cara menyerang pesaingnya, mengumbar aurat atau melakukan  kebohongan publik. Apakah bisnis merupakan profesi etis? Atau sebaliknya ia menjadi profesi kotor? Kalau profesi kotor penuh tipu menipu, mengapa begitu banyak oran yang menekuninya bahkan bangga dengan itu? Lalu kalau ini profesi kotor betapa mengerikan masyarakat modern ini yang didominasi oleh kegiatan bisnis ini. Bisnis modern merupakan realitas yang amat kompleks banyak faktor yang turut mempengaruhi dan menentukan kegiatan bisnis salah
satunya adalah etika.

Etika Teleologi
Teleologi berasal dari bahas kata Yunani telos , yang berarti akhir, tujuan, maksud, dan logos  perkataan. Teleologi adalah ajaran yang menerangkan segala sesuatu dan segala kejadian menuju pada tujuan tertentu. Istilah teleologi dikemukakan oleh Christian Wolff, seorang filsuf Jerman abad XVIII. Teleologi merupakan sebuah studi tentang gejala-gejala yang memperlihatkan keteraturan, rancangan, tujuan, akhir, maksud, kecenderungan, sasaran, arah, dan bagaimana hal-hal ini dicapai dalam suatu proses perkembangan. Dalam arti umum, teleologi merupakan sebuah studi filosofis mengenai bukti perencanaan, fungsi, atau tujuan di alam maupun dalam sejarah. Dalam bidang lain, teleologi merupakan ajaran filosofis-religius tentang eksistensi tujuan dan “kebijaksanaan” objektif di luar manusia.
Etika teleologi mengukur baik dan buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dengan tindakan itu atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu. Artinya, teleologi bisa diartikan sebagai pertimbangan moral akan baik buruknya suatu tindakan yang dilakukan. Teleologi mengerti benar mana yang benar, dan mana yang salah, tetapi itu bukan ukuran yang terakhir. Yang lebih penting adalah tujuan dan akibat. Walaupun sebuah tindakan dinilai salah menurut hukum, tetapi jika itu bertujuan dan berakibat baik, maka tindakan itu dinilai baik. Namun dengan demikian, tujuan yang baik tetap harus diikuti dengan tindakan yang benar menurut hukum.
            Menurut Kant, setiap norma dan dan kewajiban moral tidak bisa berlaku begitu saja dalam setiap situasi.Jadi, sejalan dengan pendapat Kant, etika teleologi lebih bersifat situasional karena tujuan dan akibat suatu tindakan bisa sangat tergantung pada situasi khusus tertentu. Berdasarkan pembahasan etika teleologi ini muncul aliran-aliran teleologi, yaitu egoisme dan utilitarianisme :
1.    Egosime adalah pandangan bahwa tindakan setiap orang bertujuan untuk mengejar kepentingan atau memajukan dirinya sendiri. Egoisme bisa menjadi persoalan serius ketika secara signifikan berhubungan dengan hedonism, yaitu ketika kebahagiaan dan kepentingan pribadi semata-mata hanya kenikmatan fisik yang bersifat vulgar. Artinya, yang baik secara moral disamakan begitu saja dengan kesenangan dan kenikmatan.
2.    Utilitarianisme adalah penilaian suatu perbuatan berdasarkan baik dan buruknya tindakan atau kegiatan yang bertumpu pada tujuan atau akibat dari tindakan itu sendiri bagi kepentingan orang banyak. Utilitarianisme bahkan bisa membenarkan suatu tindakan yang secara deontologis tidak etis sebagai tindakan yang baik dan etis, yaitu ketika ternyata tujuan atau akibat dari tindakan itu bermanfaat bagi bayak orang. Utilitarianisme sangat menghargai kebebasan setiap pelaku moral. Tidak ada paksaan bahwa seseorang harus beritndak dengan cara tertentu yang mungkin tidak diketahui alasannya mengapa demikian. Jadi, suatu tindakan baik diputuskan dan dipilih berdasarkan kriteria yang rasional dan bukan sekedar mengikuti tradisi atau perintah tertentu.

Etika Deontologi

Istilah deontologi berasal dari kata Yunani deon, yang berarti kewajiban. Karena itu etika deontologi menekankan kewajiban manusia untuk bertindak secara baik. Menurut etika deontologi, suatu tindakan itu baik bukan dinilai dan dibenarkan berdasarkan akibat atau tujuan baik dan tindakan itu, melainkan berdasarkan tindakan itu sendiri sebagai baik pada dirinya sendiri. Dengan kata lain, tindakan itu bernilai moral karena tindakan itu dilaksanakan berdasarkan kewajiban yang memang harus dilaksanakan terlepas dari tujuan atau akibat dari tindakan itu. Misalnya, suatu tindakan bisnis akan dinilai baik oleh etika deontologi bukan karena tindakan itu mendatangkan akibat baik pada pelakunya, melainkan karena tindakan itu sejalan dengan kewajiban si pelaku untuk, misalnya memberikan pelayanan yang baik kepada semua konsumen, untuk mengembalikan utangnya sesuai dengan kesepakatan, untuk menawarkan barang dan jasa dengan mutu yang sebanding dengan harganya, dan sebagainya. Jadi, nilai tindakan itu tidak ditentukan oleh akibat atau tujuan baik dari tindakan itu.
            Atas dasar itu, etika deontologi sangat menekankan motivasi, kemauan baik dan watak yang kuat  dari pelaku. Atau sebagaimana dikatakan Immanuel Kant kemauan baik harus dinilai baik pada dirinya sendiri terlepas dari apapun juga. Maka, dalam menilai seluruh tindakan kita, kemauan baik harus selalu dinilai paling pertama dan menjadi kondisi dari segalanya.
            Menurut Kant, kemauan baik adalah syarat mutlak untuk bertindak secara moral. Karena itu, ia menjadi kondisi yang mau tidak mau harus dipenuhi agar manusia dapat bertindak secara baik, sekaligus membenarkan tndakannya itu. Maksudnya, bisa saja akibat dari suatu tindakan memang baik, tetapi kalau tindakan itu tidak dilakukan berdasarkan kemauan baik untuk menaati hukum moral yang merupakan kewajiban seseorang, tindakan itu tidak bisa dinilai baik. Karena, akibat baik tadi bisa saja hanya merupakan hal yang kebetulan. Atas dasar ini, menurut Kant tindakan yang baik adalah tindakan yang tidak saja sesuai dengan kewajiban melainkan juga yang dijalankan demi kewajiban. Konsekuensi, ia menolak semua tindakan yang bertentangan dengan kewajiban sebagai tindakan yang baik, bahkan walaupun tindakan itu tidak berguna. Demikian pula, semua tindakan yang dijalankan sesuai dengan kewajiban tetapi tidak dijalankan berdasarkan kemauan baik melainkan hanya karena dipaksa atau terpaksa dianggapnya sebagai tindakan yang tidak baik. Secara singkat, ada tiga prinsip yang harus dipenuhi :
1. supaya suatu tindakan punya nilai moral, tindakan itu harus dijalankan berdasarkan kewajiban.
2. Nilai moral dari tindakan itu tidak tergantung pada tercapainya tujuan dari tindakan itu melainkan tergantung pada kemauan baik yang mendorong seseorang untuk melakukan tindakan itu, berarti kalaupun tujuannya tidak tercapai, tindakan itu sudah dinilai baik.
3. sebagai konsekuensi dari kedua prinsip itu, kewajiban adalah hal yang niscaya dari tindakan yang dilakukan berdasarkan sikap hormat pada hukum moral universal.

Bagi Kant, hukum moral telah tertanam dalam hati setiap orang dan karena itu bernilai universal. Hukum moral ini dianggapnya sebagai perintah tak bersyarat, yang berarti hukum moral ini berlaku bagi semua orang pada segala situasi dan tempat. Karena itu, huum moral ini mengikat siapa saja dari dalam dirinya sendiri karena hukum moral ini berasal dari dalam dirinya sendiri.
Untuk menjelaskan makna perintah tak bersyarat ini, Kant membedaknnya dari perintah bersyarat. Perintah bersyarat adalah perintah yang dilaksanakan kalau orang menghendaki akibatnya, atau kalau akibat dari tindakan ini merupakan hal yang diinginkan dan dikehendaki oleh orang tersebut. Sedangkan perintah tak bersyarat adalah perintah yang dilaksanakan begitu saja tanpa syarat apapun, yaitu tanpa mengharapkan akibatnya, atau tanpa mempedulikan apakah akibatnya tercapai dan berguna bagi orang tersebut atau tidak. Ada dua kesulitan yang dapat diajukan terhadap teori deontologi khususnya terhadap pandangan-pandangan Kant. Pertama , bagaimana jadinya apabila seseorang dihadapkan pada dua perintah atau kewajiban moral dalam suatu situasi yang sama, tetapi keduanya tidak bisa dilaksanakan sekaligus, bahkan keduanya saling meniadakan. Misalnya seorang karyawan diancam akan dibunuh atau dipecat kalau ia sampai membongkar kekurangan yang dilakukan oleh rekan-rekan sekerjanya, tetapi dipihak lain ia dihadapkan pada perintah atau kewajiban untuk melindungi dirinya dan hidupnya ( dan mungkin juga nasib istri dan anaknya). Menurut etika deontologi Kant, kejujuran harus ditegakan terlepas dari akibat bagi dirinya. Namun dipihak lain, deontologi Kant mewajibkan orang itu untuk melindungi dirinya, terlepas dari apakah akibatnya ia harus mendiamkan kucurangan itu atau tidak.

DAFTAR PUSTAKA
N.Nuryesrnan M, Moral dan Etika Dalam Dunia Bisnis, Bank dan Manajemen, Mei/Juni 1996.
Purba Victor, Hukum Bisnis Dalam Kegiatan Bisnis Para Manajer, Manajemen, 1993.
Dunia Bisnis, Warta Ekonomi, No. 29, Desember 1994.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar